Rabu, 03 Oktober 2012

MASIH ADA CINTA


 Sebuah Karya Dari Nirmala Zendrato

“Ketika masa kecilku, Aku bercita-cita ingin menjadi seorang Penulis yang dikenal oleh semua orang, dan mimpi itu sampai sekarang masih utuh melekat dalam pikiranku. Saat Aku dewasa, ternyata keinginan itu hanyalah sebatas Mimpi saja.”
Keadaan Keluargaku sangat terbatas. Papaku setiap saat bekerja sebagai penjaja Koran yang selalu berada dalam persimpangan jalan yang melawan debu, dan tak  mengenal rasa lelah dan sakit dibawah teriknya matahari dan dinginnya tubuh saat musim hujan. Begitu juga dengan Mama yang setiap waktu berjalan menerobos tembok-tembok kecil, tempat yang biasa Mama berjualan sayur-mayur dari hasil kebun sendiri. Dan Aku, hanya seorang anak yang selalu manja dan menyusahkan kedua orangtuaku, itu kata Mamaku. Bagiku, Aku adalah Orang yang akan sukses, sekali lagi kukatakan walau hanya sebatas Mimpi.
            Aku sering merenung, bagaimana caranya untuk menjadi orang sukses? Apakah ada syarat-syaratnya? Aku hanya tamatan SD, inginku melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi, lagi dan lagi Aku dihadapkan pada keterbatasan keluargaku.
            Suatu hari, Papa pulang dari kerja dengan raut wajah lelah dan sedih. Ketika ku bertanya “Pa, apakah Koran kita telah habis terjual?” Papa hanya bisa diam dengan raut wajah yang dibalut oleh keringat yang mengucur deras. Tanpa kuduga, Papa memanggilku dengan nada suara pelan-pelan, katanya : “Nak.., duduklah disamping Papa”. Aku langsung mendekat dan Papa merangkulku erat-erat sambil bertanya “Apakah cita-citamu?” Aku langsung terkejut, diam dan menatap mata Papa dalam-dalam, bahasa tubuhnya menyimpan sejuta harapan untukku. “Nak..,apakah cita-citamu?” Tanya Papa lagi. Aku langsung menjawab meski ini sangat berat untukku memberitahunya. “Pa, Aku hanya ingin menjadi Penulis yang terbaik, yang bisa dikenal semua orang. Dan jika Aku sukses nanti, Aku bisa menceritakan kepada dunia bahwa Papa dan Mama adalah orang Terhebat.” Papa hanya tersenyum sambil beranjak dari tempat duduknya dan berkata lagi padaku “Raihlah Mimpimu itu.” Setelah mendengar kata-kata itu, Aku langsung berlari dan berteriak “Aku akan jadi seorang Penulis yang Sukses….!!!” Teman-teman sebayaku telah mendengar teriakanku, mereka langsung menertawakanku, bahkan keluar kata-kata hina dari mulut mereka, katanya  “ kau jadi Penulis yang sukses ya..?? untuk makan saja susah kau dapat, ha..ha..ha..!” Aku hanya diam dan pergi meninggalkan tempat itu.
            Hari masih pagi, sebelum Mama pergi berjualan, Aku menghampiri Mama dan berkata : “Ma, bolehkah Aku meminta sesuatu?” apa? Sahutnya. Beli buku dan pulpen nanti ya, Ma?? Jawabku. Tiba-tiba Aku tersentak dan hilang rasa semangatku pagi ini, ketika kudengar jawaban dari Mama, katanya “tak usah kau bermimpi untuk menjadi Penulis sukses, seperti yang sering kau katakan itu! Untuk beli makan sehari saja, setengah mati kita mencarinya. Lebih baik kau cari kerja yang bisa meringankan beban ini !! tambahnya lagi. Aku pergi dan berdiam diri dalam kamar yang masih gelap serta mengunci diri, sambil menangis tak bisa di bendung lagi. Tak lama kemudian, tiba-tiba kamarku terang disinari dengan lampu neon, Aku tersentak langsung melihat siapa orang yang masuk dalam kamarku. Setelah lama kuperhatikan, ternyata Papaku sendiri.
            “Nak.., mengapa engkau menangis?” Tanya Papa. Aku tak bisa meraih mimipiku itu, seperti yang Papa harapkan, teman-temanku mengejekku, Mama tak mendukungku bahkan memarahiku ketika Aku meminta untuk dibelikan buku dan pulpen.  “Nak, tahukah kamu, mengapa Papa bisa masuk kekamarmu, padahal kamu telah menguncinya?” Tanya Papa sambil tersenyum padaku. “tidak Pa, jawabku”.
            Semalam, Papa menemanimu tidur dan saat itu juga kamu sedang bermimpi, dalam mimpimu itu kamu berkata: “Aku butuh buku dan pulpen.. Aku ingin menulis”,kemudian kamu tertidur lelap lagi. Dan tahukah kamu, pagi sebelum engkau bangun dari tempat tidurmu, Papa bangun dan mencari buku dan pulpen yang Papa temukan di jalanan saat Papa menjaja Koran dijalanan. Dan ketika Papa menemukannya, Papa sangat senang sekali, namun ketika Papa kembali kekamar dan mencarimu, ternyata kamu telah bangun dan meninggalkan kamar yang gelap ini. Lama Papa tunggu kedatanganmu. Tapi ketika Papa mendengar langkah kakimu menuju kamar, Papa langsung bersembunyi dibalik pintu kamarmu, berharap Papa bisa memberi kejutan untukmu. Namun, saat Papa melihatmu sedang menangis, hati Papa sedih.” Tuturnya.
            “Oh Tuhan, begitu mulianya hati Papaku ini”, kataku dalam hati. Apakah Papa benar-benar mendukungku? Tanyaku. Ia Nak, sahutnya. Aku langsung memeluk Papa dan menghapus air mataku. “Terimakasih ya Pa..”
Disaat Aku mulai berpikir tentang ide apa yang hendak kutulis. Setelah ku menemukan apa yang harus kutulis, Aku langsung putus asa. Tulisanku kini mulai jelek, kata-kataku terbatas untuk dirangkaikan lagi, berhenti sejenak dan mengulang kembali. Namun hasilnya tak seperti yang kuinginkan.
            Aku mengeluh dan sedih..
            Segala amarahku, kulampiaskan dengan mencoret-coret buku itu, buku yang awalnya putih kini telah bernoda, tinta yang masih utuh telah habis. Berhenti untuk tidak memikirkannya lagi dan memutuskan untuk tidak meraih mimpi itu. Bagiku mimpi hanyalah mimpi, tak seperti yang kupikirkan bahwa Aku akan sukses. Tulisanku jelek, kata-kataku terbatas, sepertinya menyempurnakan segala keadaaanku. Kubuang jauh-jauh  buku itu dan tak berharap untuk menginginkannya lagi.
            Jam dinding menunjukkan hari telah sore, dan waktunya orangtuaku kembali kerumah setelah seharian bekerja mencari nafkah. Aku berjalan menuju teras depan, menunggu Papa pulang.
Dari jauh terlihat raut wajah yang lelah yang tak asing dimataku lagi, setelah dekat ternyata Dia adalah Papaku sendiri. Papa menghampiriku dan berkata: “Nak, bagaimana dengan hasil karya tulismu?” Aku sedih dan berkata dalam hati “Tuhan, Aku takut”, jangan-jangan Papa marah padaku, Aku tak bisa seperti apa yang Papa harapkan padaku. Tambahku dalam hati.
Aku termenung sejenak dan tak menjawab apa-apa. Papa melihatku, seakan mau mendengar jawaban dari mulutku. “Nak, apa yang terjadi?” Tanya Papa lagi. Aku langsung meneteskan air mata dan berkata: “Pa, aku tak bisa, Aku gagal, tulisanku jelek, kata-kataku terbatas, beberapa kali ku mencoba mengulangnya, namun hasilnya tak seperti yang ku inginkan.”
            Tiba-tiba Papa menarik nafas dalam-dalam, dan mengeluarkannya pelan-pelan. Seakan Papa mulai marah padaku, karena Aku telah mengecewakannya. Papa menatapku sambil berkata: “dimanakah kau letakkan buku itu?” detak jantungku mulai berdetak cepat, dengan wajah takut Aku langsung menjawab “bu..buuuku..ku dan pu..pu..lll...pen, te…te..lah ku buuang..!” sedikit kecewa, Papa berkata padaku: “ mengapa engkau membuangnya?” Aku hanya diam.
Tanpa kuduga, tiba-tiba Mama datang dan menghampiriku sambil berkata: “ini anak yang mau jadi sukses? Hahaha.. hanya menyusahkan orangtua saja, Mama sudah pernah bilang tak perlu mimpi tinggi-tinggi, inikan hasilnya, sudah dipenuhi keinginanmu, malah kau mengecewakan Papamu, kau malah buang buku itu! Dasar anak yang tak tahu untung !!”
            Kini hidupku mulai hancur, setelah mendengar perkataan Mama. Sedih, kecewa, putus asa, marah. Dasar bodoh, kataku dalam hati. Aku langsung pergi meninggalkan tempat itu, dan memutuskan untuk tidak tinggal dirumah lagi.Aku pergi sambil berlari. Aku tak tahu harus pergi kemana, yang ada dalam pikiranku hanyalah anak bodoh, menyusahkan orangtua.
            Tak terasa hari sudah malam, Aku masih duduk dipinggir jalan sambil menangis lagi. dan Aku masih bertekad untuk tidak pulang kerumah. Suasana gelap dan dingin, tiba-tiba ada cahaya senter yang menghadap wajahku, setelah dekat, orang itu berkata padaku: “Nak, engkaukah itu?” Aku langsung tekejut. Bapak siapa? Sahutku. Dia merangkulku dengan penuh kasih sayang. Kutatap matanya dalam-dalam, mata yang tak asing lagi di mataku. “Pa?” kataku. Ia Nak, sahutnya. Papa bertanya sembari merangkulku: “Nak, mengapa engkau meninggalkan rumah? Menangis? Papa khawatir, takut melihat keadaanmu yang sekarang ini terus-menerus menagis”.
            Terimakasih ya Pa. Papa sangat baik untukku, tak pernah meninggalkan Aku.” Aku terharu dan menangis lagi. “Aku kecewa telah meninggalkan rumah, Aku tak sadar bahwa masih ada Papa yang selalu mendukungku”. Tambahku dalam hati.
Papa hanya diam sambil meneteskan air mata yang tak pernah kulihat sebelumnya dan berkata: “Nak, hanya kamulah harapan Papa satu-satunya, kamu begitu berharga bagi Papa. Seandainya tak seperti ini keadaan kita, mungkin Papa sudah menyekolahkan kamu dan akan memenuhi segala keinginanmu termasuk cita-citamu. Namun inilah Papa, Papa tak bisa memberimu sekolah, Papa hanya bisa mendukungmu. Dulu, Papa pernah alami apa yang sedang engkau alami juga. Tapi Papa ingin tak ada kegagalan kedua kalinya. Papa berharap, kamulah yang berhak mendapatkan itu. Kamu tak perlu putus asa dan kecewa, tetap belajar.“Maafkan Aku, Pa..”kataku. Aku putus asa, karena Mama selalu menghinaku, teman-teman selalu mengejekku. Tambahku lagi. Raihlah mimpimu itu, buktikan bahwa kamu bisa dan mampu, tutur Papa lagi.
            Malam semakin gelap, desir angin mulai terasa, bintang dan bulan seakan terbuai dengan kesedihan yang kualami. Papa mengajakku untuk kembali kerumah. Sesampainya dirumah, Papa menyuruhku untuk mandi dan makan malam bersama. Sebelum kekamar mandi, Aku mondar-mandir mencari handukku. Setelah lama mencarinya, baru teringat kalau handuk ada dikamar Mama. Handuk kami memang ada dua, satu untuk Papa dan satunya lagi untuk Aku dan Mama. Pelan-pelan kumasuk kedalam kamar dan kumenoleh melihat wajah Mama yang sudah lama tertidur lelap. “Aman..aman..”, kataku dalam hati. Kumencari handuk, ternyata ada disamping Mama, Aku juga heran mengapa handuk bisa tergeletak di sampingnya. Aku mengendap-endap mengambilnya, takut Mama terbangun. Mataku tertuju pada wajah Mama seraya ambil handuk. Setelah Aku mengambilnya, kembaliku melihat wajah Mama. Tampak lelah dan sepertinya meninggalkan air mata. Kuterpaku dan bertanya dalam hati “ada apa dengan Mama?”
            Aku tak mau berlama-lama berdiam melihat Mama, setelah dengar suara Papa dari luar, aku langsung beranjak dan pergi kekamar mandi. Setelah mandi, Aku dan Papa makan malam bersama. Makanan yang sudah terbiasa dilidahku tempe dan tahu yang melengkapkannya.
            Usai makan malam, Aku duduk diteras depan rumahku sambil melihat bulan dan bintang yang lagi terang menerangi rumahku. Gonggongan anjing yang menakutkan, nyamuk yang meresahkan, kedinginan yang menyelimuti tubuhku, tapi itu semua tak menjadi penghalang untukku berpikir dan terus berpikir.
            Pagi awal bulan September, seperti biasanya tiap awal bulan Papa menerima upah dari hasil kerjanya. Aku bahagia, meskipun dalam benakku tersimpan pergumulan yang sedang kualami. Bagiku, Aku tak akan pernah berhenti berharap dan percaya Aku akan jadi orang sukses. Tak lama, Papa menghampiriku sambil memberikan sebuah buku dan pulpen.Aku langsung kaget dan diam. “Nak, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki kegagalanmu, ambillah buku dan pulpen ini”, kata Papa sembari memberikannya padaku. “Terimakasih Pa”, sahutku.
            Kubuka perlahan lembaran kertas putih itu sedikit gugup dan takut. Kumulai menulis namaku. Namaku adalah NAOMY, nama yang cantik dari Orangtuaku yang luar biasa. umurku 17 tahun. Masih menulis Biodata Pribadiku, tampak bayangan gelap dikertas yang masih putih, Aku takut dan merinding. Saat ku menoleh dan melihat ternyata Papa telah lama berdiri dibelakangku tanpa sadar. Senangnya hatiku saat menerima pujian pertama kali dari Papa. Aku tersenyum, berdiri sambil memeluk Papa dan berkata: “Pa, jangan pernah tinggalkan Aku dalam meniti cita-citaku ini, tanpa Papa.. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi”, sambil menitikkan air mata. “Siapa yang meninggalkanmu sayang”, sahutnya. Kata sayang yang selama ini kunanti-nantikan akhirnya Aku bisa dengar langsung dari kata-kata Papa. “Tuhan, terimakasih,” tambahku dalam hati. “Nak, ini sebuah buku bacaan untuk pedomanmu, walaupun terlihat tua dan usang, Papa sudah lama menyimpannya, kiranya kamu bisa menyimpannya baik-baik,” kata Papa seraya memberikannya padaku.
            Dengan girangnya Aku mulai baca buku itu halaman per halaman, tanpa kuduga ada satu kutipan yang membuatku termotivasi dan selalu muncul dalam pikiranku, katanya: “Kamu tidak perlu Hebat untuk memulai, tetapi kamu perlu memulai untuk menjadi Hebat”, kalimat inilah yang membuatku tidak takut gagal lagi.
            Hari ke-2 di Bulan September yang penuh misteri. Aku terbangun dan pergi keluar menghirup udara pagi yang segar, dan merasakan Anugerah dan CintaNya padaku, kurenungkan segala apa yang telah kualami dan jalani, dan Aku tak pernah berhenti untuk bersyukur padaNya. Aku yakin, Aku sudah siap untuk memulai jadi orang yang hebat.
            Hari telah siang, segera ku pergi mandi tak lupa juga makan. setelah selesai, kuambil buku dan pulpen kumulai menulis dan mengarang sebuah cerpen. Berpikir sejenak dan berkata dalam hati, “apa yang ingin kuceritakan? apa yang ingin ku tulis? Tentang apa? banyak Tanya-jawab dalam pikiranku, pikiran mulai berkecamuk. Kumenenangkan pikiran sejenak. Lama kuberpikir, akhirnya kudapat juga apa yang menjadi judul cerpenku, yakni “Masih Ada Cinta”, artinya walaupun Aku berkali-kali gagal, putus asa, menghindar, kecewa, dan lain sebagainya, tetapi masih ada Cinta yang sanggup menguatkan Aku,” tuturku dalam hati.
            Aku tersenyum dan tertawa, kubernyanyi: “Tra la la la..Tra la la la…Tra la la la…”. Kata-kata positif mulai keluar dari mulutku, “Aku pasti bisa..!” Burung-burung pun bernyanyi menyambung senandungku, bunga-bunga berseri melihatku, matahari semakin terang bercahaya seakan menjadi benteng hidupku.
            Hari ke-7 Minggu pertama di Bulan September, hasil karanganku kini sudah terlihat. Dan senangnya, Papa berusaha menjadi orang yang bisa menerbitkan tulisanku. berusaha mencari dan membaca dalam Koran dan majalah. Tak lama hanya butuh beberapa hari, Papa telah menemukan orang yang menerbitkannya. Dua minggu kemudian, hasil karya tulisku kini sudah siap. Papa mengantarku ketempat penerbit tersebut. sesampainya di tempat tujuan, hatiku deg-degkan, tubuhku keringat dingin, takut hasil karyaku ditolak dan tak diterbitkan. Tapi dengan rasa percaya diri, “apapun yang harus terjadi, Aku harus menerimanya,”tuturku dalam hati.
            Setelah masuk dalam kantor dan bertemu kepada Kepala Bagian Penerbit, Aku duduk disamping Papa, sambil memegang erat tangan Papa, seraya melihat wajah orang tersebut dan memberikan hasil tulisanku kepadanya. Bapak Mulyono namanya, setelah dia memperkenalkan dirinya. Pertanyaan mulai muncul untuk kujawab, sedikit demam panggung tapi tetap harus kujalani dengan penuh rasa optimis. “Naskahmu diterima, akan tetapi Dewan Penyuntinglah yang akan memutuskan apakah naskahmu diterima  untuk di terbitkan atau ditolak. Seandainya naskahmu di terima akan berlanjut ke proses berikutnya yakni ke Bagian Pengolah naskah. Nah, disini Naskah akan ditangani bersama oleh Penyunting dan kamu sebagai pengarang, sampai keadaannya layak untuk diterbitkan,”kata Pak Mulyono dengan tegas. “Bapak pikir, cukup untuk penjelasannya, Bapak percaya bahwa kamu pasti mengerti ketika kamu mulai bergabung pada organisasi ini,” tambahnya kepadaku.
            Setelah semuanya selesai, Aku dan Papa bergegas untuk kembali kerumah, tak sabar untuk menceritakannya kepada Mama. Ditengah perjalanan, Papa berkata padaku: “Nak, inilah awal dari kesuksesanmu.” tanpa terasa kuteteskan air mata, kumelihat raut wajah Papa, yang dulunya tampak lesu kini berseri lagi. Aku senang dan terharu. “Pa, Aku tak sabar untuk cepat-cepat memberitahukan kepada Mama tentang hal ini, mari kita lanjutkan perjalanan lagi,” ujarku sambil tersenyum.
            Sesampainya dirumah, Aku langsung berteriak kegirangan sambil mencari Mama, tapi tak kutemukan. Tanya Papa tak tahu juga. Kuberdiam dan meneteskan air mata, “Tuhan, dimana Mama? Aku tak sabar untuk menceritakan tentang apa yang kualami hari ini”, kataku dalam hati. Tak lama kemudian, tiba-tiba kudengar suara dari dalam rumah yang tak asing bagiku. Pelan-pelan ku mencari suara tangis tersebut, setelah kudapatkan, ternyata Ia adalah Mama yang sedang berlutut dan berdoa didalam kamarnya, jelas kudengar ada namaku disebut.
            Aku menangis dan menghampiri Mama, “Aku sayang Mama”, kataku sambil memeluknya. Mama menangis tersedu-sedu, dan memelukku erat-erat. “Maafkan Mama, Nak! Mama tak pernah baik untukmu, itu semua Mama lakukan karena Mama tak mampu memenuhi segala keinginanmu itu, Mama tak kuat.” “Mama tak boleh berkata seperti itu, siapa bilang Mama tak pernah baik untukku?” jawabku dengan nada sedih. “Mama adalah orang terhebat,”tambahku lagi. “Ma, hari ini..tulisanku telah diterima oleh Penerbit buku, dan tahukah Mama, kalau tulisanku akan diterbitkan, hanya menunggu beberapa hari saja, kita berdoa supaya harapan dan impian ini bisa tercapai,”tuturku meyakinkan. “Terimakasih Nak, kamu tak pernah berhenti berharap meskipun dalam keadaan seperti ini, Mama mendukungmu Nak,” tambahnya lagi.
            Hari sudah malam, Papa dan Mama telah tidur terlelap. Aku masih bergumul dengan apa yang kujalani saat ini. Merenung setiap apa yang telah ku jalani. “Tuhan, Engkau sungguh luar biasa, Engkau mampu mengubah hidupku dengan Kasih-Mu,” doaku dalam hati.
            Keesokan harinya, Aku dipanggil oleh Pimpinan Penerbit. Setelah sampai diruangannya yang cukup menegangkan untukku, setelah Dia mempersilahkan untuk duduk, tanpa basa-basi Dia mengatakan padaku: “Naskahmu diterima dan siap untuk diterbitkan, setelah Bagian Penyuntingan mengolah naskahmu. “Benarkah itu, Pak?” kataku tak percaya. “Ya, benar!” Naskahmu ini akan dilanjutkan kebagian produksi, dan kemudian akan dipromosikan serta menjualnya. Semoga judul “Masih Ada Cinta” ini, dapat diterima dan disukai oleh masyarakat,” tambahnya sambil tersenyum. Dan untuk imbalan bagi karya tulisanmu, akan diberikan sesuai dengan jumlah buku yang terjual,”katanya lagi.
            “Senangnya hatiku, indah dari pada hari sebelumnya, hah..apa bedanya dengan hari sebelumnya?” kataku dalam hati sambil tersenyum.“Baiklah Pak, terimakasih atas kerjasamanya.” Kataku sambil berjabat tangan.
            Sampai dirumah, Papa dan Mama masih dirumah. Biasanya mereka sudah pergi bekerja. Tetapi kali ini membuatku sedikit bertanya “Mengapa?” Tanpa lama-lama berpikir, Aku langsung menghampiri mereka dan berkata: “Pa, Ma.., tulisanku akan diterbitkan. Kata Pimpinannya, secepatnya akan diproduksikan dan dipromosi. Dan Aku akan mendapatkan imbalan bagi hasil karyaku tersebut serta Aku diterima untuk bergabung dalam Penerbit buku tersebut, dan itu artinya Aku telah menghasilkan uang sendiri dan Aku akan melanjutkan sekolah lagi tanpa meminta biaya lagi dari Papa dan Mama,” kataku dengan tegas sambil tersenyum bahagia.
            Papa dan Mama memelukku dan mencium keningku, sejenak hati dan pikiranku berhenti tanpa aba-aba. Aku terharu dengan keadaan yang kualami saat ini. Terharu dengan belaian kasih sayang yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku baru sadar, bahwa inilah harapan orangtua yang sebenarnya. Melihat anaknya berhasil. “Terimakasih Nak,! Tutur Papa dengan nada sedih. “Pa, Ma.. apa yang kudapatkan dan kuberikan saat ini tak sebanding dengan apa yang telah Papa dan Mama berikan untukku, Aku berjanji jika Aku benar-benar sukses Aku akan membahagiakan Papa dan Mama,” jawabku dengan meneteskan air mata.
            Hanya sebatas Mimpi. Benar, jika memang tak ada hati untuk mengubahnya menjadi kenyataan. Dan kini Mimpi tersebut telah kugenggam nyata ditanganku. Tak berhenti berharap untuk mewujudkannya. Papa adalah orang yang selalu mendukungku dalam hal apapun juga, Dialah orang terhebat yang pernah kumiliki dan Aku tak akan pernah lupa betapa besar pengorbanan Papa untukku. Kuat meskipun dalam keadaan lemah, tersenyum meskipun dalam keadaan sedih, tampak tegar padahal merintih dan menjerit dengan keadaan yang menjepitnya, itulah Papa. Dan Mama adalah orang yang sangat kuat dan tegar, mengerti segala apa yang kualami, berjuang untuk membahagiakanku. Mampu menutupi segala apa kelemahannya, Sungguh hebat.
            Satu hal yang masih ku ingat jelas kata-kata Papa untukku, “Mengucap syukurlah dalam segala hal”. Kata-kata inilah yang sanggup menguatkan kelurgaku. Tanpa bersyukur segala apa yang dikerjakan akan sia-sia dan tak ada gunanya.