Sebuah Karya Dari Nirmala Zendrato
“Ketika
masa kecilku, Aku bercita-cita ingin menjadi seorang Penulis yang dikenal oleh
semua orang, dan mimpi itu sampai sekarang masih utuh melekat dalam pikiranku.
Saat Aku dewasa, ternyata keinginan itu hanyalah sebatas Mimpi saja.”
Keadaan
Keluargaku sangat terbatas. Papaku setiap saat bekerja sebagai penjaja Koran
yang selalu berada dalam persimpangan jalan yang melawan debu, dan tak mengenal rasa lelah dan sakit dibawah
teriknya matahari dan dinginnya tubuh saat musim hujan. Begitu juga dengan Mama
yang setiap waktu berjalan menerobos tembok-tembok kecil, tempat yang biasa
Mama berjualan sayur-mayur dari hasil kebun sendiri. Dan Aku, hanya seorang
anak yang selalu manja dan menyusahkan kedua orangtuaku, itu kata Mamaku.
Bagiku, Aku adalah Orang yang akan sukses, sekali lagi kukatakan walau hanya
sebatas Mimpi.
Aku sering merenung, bagaimana
caranya untuk menjadi orang sukses? Apakah ada syarat-syaratnya? Aku hanya
tamatan SD, inginku melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi, lagi dan lagi Aku
dihadapkan pada keterbatasan keluargaku.
Suatu hari, Papa pulang dari kerja dengan
raut wajah lelah dan sedih. Ketika ku bertanya “Pa, apakah Koran kita telah
habis terjual?” Papa hanya bisa diam dengan raut wajah yang dibalut oleh
keringat yang mengucur deras. Tanpa kuduga, Papa memanggilku dengan nada suara
pelan-pelan, katanya : “Nak.., duduklah disamping Papa”. Aku langsung mendekat
dan Papa merangkulku erat-erat sambil bertanya “Apakah cita-citamu?” Aku
langsung terkejut, diam dan menatap mata Papa dalam-dalam, bahasa tubuhnya
menyimpan sejuta harapan untukku. “Nak..,apakah cita-citamu?” Tanya Papa lagi.
Aku langsung menjawab meski ini sangat berat untukku memberitahunya. “Pa, Aku
hanya ingin menjadi Penulis yang terbaik, yang bisa dikenal semua orang. Dan
jika Aku sukses nanti, Aku bisa menceritakan kepada dunia bahwa Papa dan Mama
adalah orang Terhebat.” Papa hanya tersenyum sambil beranjak dari tempat
duduknya dan berkata lagi padaku “Raihlah Mimpimu itu.” Setelah mendengar
kata-kata itu, Aku langsung berlari dan berteriak “Aku akan jadi seorang
Penulis yang Sukses….!!!” Teman-teman sebayaku telah mendengar teriakanku,
mereka langsung menertawakanku, bahkan keluar kata-kata hina dari mulut mereka,
katanya “ kau jadi Penulis yang sukses
ya..?? untuk makan saja susah kau dapat, ha..ha..ha..!” Aku hanya diam dan
pergi meninggalkan tempat itu.
Hari masih pagi, sebelum Mama pergi
berjualan, Aku menghampiri Mama dan berkata : “Ma, bolehkah Aku meminta
sesuatu?” apa? Sahutnya. Beli buku dan pulpen nanti ya, Ma?? Jawabku. Tiba-tiba
Aku tersentak dan hilang rasa semangatku pagi ini, ketika kudengar jawaban dari
Mama, katanya “tak usah kau bermimpi untuk menjadi Penulis sukses, seperti yang
sering kau katakan itu! Untuk beli makan sehari saja, setengah mati kita
mencarinya. Lebih baik kau cari kerja yang bisa meringankan beban ini !! tambahnya
lagi. Aku pergi dan berdiam diri dalam kamar yang masih gelap serta mengunci
diri, sambil menangis tak bisa di bendung lagi. Tak lama kemudian, tiba-tiba
kamarku terang disinari dengan lampu neon, Aku tersentak langsung melihat siapa
orang yang masuk dalam kamarku. Setelah lama kuperhatikan, ternyata Papaku
sendiri.
“Nak.., mengapa engkau menangis?”
Tanya Papa. Aku tak bisa meraih mimipiku itu, seperti yang Papa harapkan,
teman-temanku mengejekku, Mama tak mendukungku bahkan memarahiku ketika Aku meminta
untuk dibelikan buku dan pulpen. “Nak,
tahukah kamu, mengapa Papa bisa masuk kekamarmu, padahal kamu telah
menguncinya?” Tanya Papa sambil tersenyum padaku. “tidak Pa, jawabku”.
Semalam, Papa menemanimu tidur dan
saat itu juga kamu sedang bermimpi, dalam mimpimu itu kamu berkata: “Aku butuh
buku dan pulpen.. Aku ingin menulis”,kemudian kamu tertidur lelap lagi. Dan
tahukah kamu, pagi sebelum engkau bangun dari tempat tidurmu, Papa bangun dan
mencari buku dan pulpen yang Papa temukan di jalanan saat Papa menjaja Koran
dijalanan. Dan ketika Papa menemukannya, Papa sangat senang sekali, namun
ketika Papa kembali kekamar dan mencarimu, ternyata kamu telah bangun dan
meninggalkan kamar yang gelap ini. Lama Papa tunggu kedatanganmu. Tapi ketika
Papa mendengar langkah kakimu menuju kamar, Papa langsung bersembunyi dibalik
pintu kamarmu, berharap Papa bisa memberi kejutan untukmu. Namun, saat Papa
melihatmu sedang menangis, hati Papa sedih.” Tuturnya.
“Oh Tuhan, begitu mulianya hati
Papaku ini”, kataku dalam hati. Apakah Papa benar-benar mendukungku? Tanyaku.
Ia Nak, sahutnya. Aku langsung memeluk Papa dan menghapus air mataku.
“Terimakasih ya Pa..”
Disaat
Aku mulai berpikir tentang ide apa yang hendak kutulis. Setelah ku menemukan
apa yang harus kutulis, Aku langsung putus asa. Tulisanku kini mulai jelek,
kata-kataku terbatas untuk dirangkaikan lagi, berhenti sejenak dan mengulang
kembali. Namun hasilnya tak seperti yang kuinginkan.
Aku mengeluh dan sedih..
Segala amarahku, kulampiaskan dengan
mencoret-coret buku itu, buku yang awalnya putih kini telah bernoda, tinta yang
masih utuh telah habis. Berhenti untuk tidak memikirkannya lagi dan memutuskan
untuk tidak meraih mimpi itu. Bagiku mimpi hanyalah mimpi, tak seperti yang
kupikirkan bahwa Aku akan sukses. Tulisanku jelek, kata-kataku terbatas,
sepertinya menyempurnakan segala keadaaanku.
Kubuang jauh-jauh buku itu dan tak
berharap untuk menginginkannya lagi.
Jam dinding menunjukkan hari telah
sore, dan waktunya orangtuaku kembali kerumah setelah seharian bekerja mencari
nafkah. Aku berjalan menuju teras depan, menunggu Papa pulang.
Dari jauh terlihat raut wajah yang lelah yang tak asing dimataku lagi,
setelah dekat ternyata Dia adalah Papaku sendiri. Papa menghampiriku dan
berkata: “Nak, bagaimana dengan hasil karya tulismu?” Aku sedih dan berkata
dalam hati “Tuhan, Aku takut”, jangan-jangan Papa marah padaku, Aku tak bisa
seperti apa yang Papa harapkan padaku. Tambahku dalam hati.
Aku
termenung sejenak dan tak menjawab apa-apa. Papa melihatku, seakan mau
mendengar jawaban dari mulutku. “Nak, apa yang terjadi?” Tanya Papa lagi. Aku
langsung meneteskan air mata dan berkata: “Pa, aku tak bisa, Aku gagal,
tulisanku jelek, kata-kataku terbatas, beberapa kali ku mencoba mengulangnya,
namun hasilnya tak seperti yang ku inginkan.”
Tiba-tiba Papa menarik nafas
dalam-dalam, dan mengeluarkannya pelan-pelan. Seakan Papa mulai marah padaku,
karena Aku telah mengecewakannya. Papa menatapku sambil berkata: “dimanakah kau
letakkan buku itu?” detak jantungku mulai berdetak cepat, dengan wajah takut Aku langsung menjawab
“bu..buuuku..ku dan pu..pu..lll...pen, te…te..lah ku buuang..!” sedikit kecewa,
Papa berkata padaku: “ mengapa engkau membuangnya?” Aku hanya diam.
Tanpa
kuduga, tiba-tiba Mama datang dan menghampiriku sambil berkata: “ini anak yang
mau jadi sukses? Hahaha.. hanya menyusahkan orangtua saja, Mama sudah pernah
bilang tak perlu mimpi tinggi-tinggi, inikan hasilnya, sudah dipenuhi
keinginanmu, malah kau mengecewakan Papamu, kau malah buang buku itu! Dasar anak
yang tak tahu untung !!”
Kini hidupku mulai hancur, setelah
mendengar perkataan Mama. Sedih, kecewa, putus asa, marah. Dasar bodoh, kataku
dalam hati. Aku langsung pergi meninggalkan tempat itu, dan memutuskan untuk
tidak tinggal dirumah lagi.Aku pergi sambil berlari. Aku tak tahu harus pergi
kemana, yang ada dalam pikiranku hanyalah anak bodoh, menyusahkan orangtua.
Tak terasa hari sudah malam, Aku masih duduk dipinggir jalan
sambil menangis lagi. dan Aku masih bertekad untuk tidak pulang kerumah. Suasana
gelap dan dingin, tiba-tiba ada cahaya senter yang menghadap wajahku, setelah
dekat, orang itu berkata padaku: “Nak, engkaukah itu?” Aku langsung tekejut.
Bapak siapa? Sahutku. Dia merangkulku dengan penuh kasih sayang. Kutatap
matanya dalam-dalam, mata yang tak asing lagi di mataku. “Pa?” kataku. Ia
Nak, sahutnya. Papa bertanya sembari merangkulku: “Nak, mengapa engkau
meninggalkan rumah? Menangis? Papa khawatir, takut melihat keadaanmu yang
sekarang ini terus-menerus menagis”.
Terimakasih ya Pa. Papa sangat baik
untukku, tak pernah meninggalkan Aku.”
Aku terharu dan menangis lagi. “Aku kecewa telah
meninggalkan rumah, Aku tak sadar bahwa masih ada Papa yang selalu
mendukungku”. Tambahku dalam hati.
Papa hanya diam sambil meneteskan air mata yang tak
pernah kulihat sebelumnya dan berkata: “Nak, hanya kamulah harapan Papa
satu-satunya, kamu begitu berharga bagi Papa. Seandainya tak seperti ini
keadaan kita, mungkin Papa sudah menyekolahkan kamu dan akan memenuhi segala
keinginanmu termasuk cita-citamu. Namun inilah Papa, Papa tak bisa memberimu
sekolah, Papa hanya bisa mendukungmu. Dulu, Papa pernah alami apa yang sedang
engkau alami juga. Tapi Papa ingin tak ada kegagalan kedua kalinya. Papa
berharap, kamulah yang berhak mendapatkan itu. Kamu tak perlu putus asa dan
kecewa, tetap belajar.“Maafkan
Aku, Pa..”kataku. Aku putus asa, karena Mama selalu menghinaku, teman-teman
selalu mengejekku. Tambahku lagi. Raihlah
mimpimu itu, buktikan bahwa kamu bisa dan mampu, tutur Papa lagi.
Malam semakin gelap, desir angin
mulai terasa, bintang dan bulan seakan terbuai dengan kesedihan yang kualami.
Papa mengajakku untuk kembali kerumah. Sesampainya dirumah, Papa menyuruhku untuk mandi
dan makan malam bersama. Sebelum kekamar mandi, Aku mondar-mandir mencari
handukku. Setelah lama mencarinya, baru teringat kalau handuk ada dikamar Mama.
Handuk kami memang ada dua, satu untuk Papa dan satunya lagi untuk Aku dan
Mama. Pelan-pelan kumasuk kedalam kamar dan kumenoleh melihat wajah Mama yang
sudah lama tertidur lelap. “Aman..aman..”,
kataku dalam hati. Kumencari handuk, ternyata ada disamping Mama, Aku juga
heran mengapa handuk bisa tergeletak di sampingnya. Aku mengendap-endap
mengambilnya, takut Mama terbangun. Mataku tertuju pada wajah Mama seraya ambil
handuk. Setelah Aku mengambilnya, kembaliku melihat wajah Mama. Tampak lelah
dan sepertinya meninggalkan air mata. Kuterpaku dan bertanya dalam hati “ada
apa dengan Mama?”
Aku tak mau berlama-lama berdiam
melihat Mama, setelah dengar suara Papa dari luar, aku langsung beranjak dan
pergi kekamar mandi. Setelah mandi, Aku dan Papa makan malam bersama. Makanan
yang sudah terbiasa dilidahku tempe dan tahu yang melengkapkannya.
Usai makan malam, Aku duduk diteras depan rumahku sambil melihat
bulan dan bintang yang lagi terang menerangi rumahku. Gonggongan anjing yang
menakutkan, nyamuk yang meresahkan, kedinginan yang menyelimuti tubuhku, tapi
itu semua tak menjadi penghalang untukku berpikir dan terus berpikir.
Pagi awal bulan September, seperti
biasanya tiap awal bulan Papa menerima upah dari hasil kerjanya. Aku bahagia,
meskipun dalam benakku tersimpan pergumulan yang sedang kualami. Bagiku, Aku
tak akan pernah berhenti berharap dan percaya Aku akan jadi orang sukses. Tak
lama, Papa menghampiriku sambil memberikan sebuah buku dan pulpen.Aku langsung
kaget dan diam. “Nak, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki kegagalanmu,
ambillah buku dan pulpen
ini”, kata Papa sembari memberikannya padaku. “Terimakasih Pa”, sahutku.
Kubuka
perlahan lembaran kertas putih itu sedikit gugup dan takut. Kumulai menulis namaku.
Namaku adalah NAOMY, nama yang cantik dari Orangtuaku yang luar biasa. umurku
17 tahun. Masih menulis Biodata Pribadiku, tampak bayangan gelap dikertas yang
masih putih, Aku takut dan merinding. Saat ku menoleh dan melihat ternyata Papa
telah lama berdiri dibelakangku tanpa sadar. Senangnya hatiku saat menerima
pujian pertama kali dari Papa. Aku tersenyum, berdiri sambil memeluk Papa dan
berkata: “Pa, jangan pernah tinggalkan Aku dalam meniti cita-citaku ini, tanpa
Papa.. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi”, sambil menitikkan air mata. “Siapa
yang meninggalkanmu sayang”, sahutnya. Kata sayang yang selama ini
kunanti-nantikan akhirnya Aku bisa dengar langsung dari kata-kata Papa. “Tuhan,
terimakasih,” tambahku dalam hati. “Nak, ini sebuah buku bacaan untuk
pedomanmu, walaupun terlihat tua dan usang,
Papa sudah lama menyimpannya, kiranya kamu bisa menyimpannya baik-baik,” kata
Papa seraya memberikannya padaku.
Dengan girangnya Aku mulai baca buku
itu halaman per halaman, tanpa kuduga ada satu kutipan yang membuatku
termotivasi dan selalu muncul dalam pikiranku, katanya: “Kamu tidak perlu Hebat
untuk memulai, tetapi kamu perlu memulai untuk menjadi Hebat”, kalimat inilah yang
membuatku tidak takut gagal lagi.
Hari ke-2 di Bulan September yang
penuh misteri. Aku terbangun dan pergi keluar menghirup udara pagi yang segar,
dan merasakan Anugerah dan CintaNya
padaku, kurenungkan segala apa yang telah kualami dan jalani, dan Aku tak
pernah berhenti untuk bersyukur padaNya. Aku yakin, Aku sudah siap untuk
memulai jadi orang yang hebat.
Hari telah siang, segera ku pergi
mandi tak lupa juga makan. setelah selesai, kuambil buku dan pulpen kumulai
menulis dan mengarang sebuah cerpen. Berpikir sejenak dan berkata dalam hati,
“apa yang ingin kuceritakan? apa yang ingin ku tulis? Tentang apa? banyak
Tanya-jawab dalam pikiranku, pikiran mulai berkecamuk. Kumenenangkan pikiran
sejenak. Lama kuberpikir, akhirnya kudapat juga apa yang menjadi judul
cerpenku, yakni “Masih Ada Cinta”, artinya walaupun Aku berkali-kali gagal,
putus asa, menghindar, kecewa, dan lain sebagainya, tetapi masih ada Cinta yang
sanggup menguatkan Aku,” tuturku dalam hati.
Aku tersenyum dan tertawa,
kubernyanyi: “Tra la la la..Tra la la la…Tra la la la…”. Kata-kata positif
mulai keluar dari mulutku, “Aku pasti bisa..!” Burung-burung pun bernyanyi
menyambung senandungku, bunga-bunga berseri melihatku, matahari semakin terang
bercahaya seakan menjadi benteng hidupku.
Hari ke-7 Minggu pertama di Bulan
September, hasil karanganku kini sudah terlihat. Dan senangnya, Papa berusaha
menjadi orang yang bisa menerbitkan tulisanku. berusaha mencari dan membaca
dalam Koran dan majalah. Tak lama hanya butuh beberapa hari, Papa telah menemukan
orang yang menerbitkannya. Dua minggu kemudian, hasil karya tulisku kini sudah
siap. Papa mengantarku ketempat penerbit tersebut. sesampainya di tempat
tujuan, hatiku deg-degkan, tubuhku keringat dingin, takut hasil karyaku ditolak
dan tak diterbitkan. Tapi dengan rasa percaya diri, “apapun yang harus terjadi,
Aku harus menerimanya,”tuturku dalam hati.
Setelah masuk dalam kantor dan
bertemu kepada Kepala Bagian Penerbit, Aku duduk disamping Papa, sambil
memegang erat tangan Papa, seraya melihat wajah orang tersebut dan memberikan
hasil tulisanku kepadanya. Bapak Mulyono namanya, setelah dia memperkenalkan
dirinya. Pertanyaan
mulai muncul untuk kujawab, sedikit demam panggung tapi tetap harus kujalani
dengan penuh rasa optimis. “Naskahmu diterima, akan tetapi Dewan Penyuntinglah
yang akan memutuskan apakah naskahmu diterima
untuk di terbitkan atau ditolak. Seandainya naskahmu di terima akan
berlanjut ke proses berikutnya yakni ke Bagian Pengolah naskah. Nah, disini
Naskah akan ditangani bersama oleh Penyunting dan kamu sebagai pengarang,
sampai keadaannya layak untuk diterbitkan,”kata Pak Mulyono dengan tegas.
“Bapak pikir, cukup untuk penjelasannya, Bapak percaya bahwa kamu pasti
mengerti ketika kamu mulai bergabung pada organisasi ini,” tambahnya kepadaku.
Setelah semuanya selesai, Aku dan
Papa bergegas untuk kembali kerumah, tak sabar untuk menceritakannya kepada
Mama. Ditengah perjalanan, Papa berkata padaku: “Nak, inilah awal dari
kesuksesanmu.” tanpa terasa kuteteskan air mata, kumelihat raut wajah Papa,
yang dulunya tampak lesu kini berseri lagi. Aku senang dan terharu. “Pa, Aku
tak sabar untuk cepat-cepat memberitahukan kepada Mama tentang hal ini, mari
kita lanjutkan perjalanan lagi,” ujarku sambil tersenyum.
Sesampainya dirumah, Aku langsung
berteriak kegirangan sambil mencari Mama, tapi tak kutemukan. Tanya Papa tak
tahu juga. Kuberdiam dan meneteskan air mata, “Tuhan, dimana Mama? Aku tak
sabar untuk menceritakan tentang apa yang kualami hari ini”, kataku dalam hati.
Tak lama kemudian, tiba-tiba kudengar suara dari dalam rumah yang tak asing
bagiku. Pelan-pelan ku mencari suara tangis tersebut, setelah kudapatkan,
ternyata Ia adalah Mama yang sedang berlutut dan berdoa didalam kamarnya, jelas
kudengar ada namaku disebut.
Aku
menangis dan menghampiri Mama, “Aku sayang Mama”, kataku sambil memeluknya.
Mama menangis tersedu-sedu, dan memelukku erat-erat. “Maafkan Mama, Nak! Mama tak pernah baik untukmu, itu
semua Mama lakukan karena Mama tak mampu memenuhi segala keinginanmu itu, Mama
tak kuat.” “Mama tak boleh berkata seperti itu, siapa bilang Mama tak pernah
baik untukku?” jawabku dengan nada sedih. “Mama adalah orang terhebat,”tambahku
lagi. “Ma, hari ini..tulisanku telah diterima oleh Penerbit buku, dan tahukah
Mama, kalau tulisanku akan diterbitkan, hanya menunggu beberapa hari saja, kita berdoa supaya
harapan dan impian ini bisa tercapai,”tuturku meyakinkan. “Terimakasih Nak,
kamu tak pernah berhenti berharap meskipun dalam keadaan seperti ini, Mama
mendukungmu Nak,” tambahnya lagi.
Hari
sudah malam, Papa dan Mama telah tidur terlelap. Aku masih bergumul dengan apa
yang kujalani saat ini. Merenung setiap apa yang telah ku jalani. “Tuhan,
Engkau sungguh luar biasa, Engkau mampu mengubah hidupku dengan Kasih-Mu,”
doaku dalam hati.
Keesokan
harinya, Aku dipanggil oleh Pimpinan Penerbit. Setelah sampai diruangannya yang
cukup menegangkan untukku, setelah Dia mempersilahkan untuk duduk, tanpa
basa-basi Dia mengatakan padaku: “Naskahmu diterima dan siap untuk diterbitkan,
setelah Bagian Penyuntingan mengolah naskahmu. “Benarkah itu, Pak?” kataku tak
percaya. “Ya, benar!” Naskahmu ini akan dilanjutkan kebagian produksi, dan
kemudian akan dipromosikan serta menjualnya. Semoga judul “Masih Ada Cinta”
ini, dapat diterima dan disukai oleh masyarakat,” tambahnya sambil tersenyum.
Dan untuk imbalan bagi karya tulisanmu, akan diberikan sesuai dengan jumlah
buku yang terjual,”katanya lagi.
“Senangnya
hatiku, indah dari pada hari sebelumnya, hah..apa bedanya dengan hari
sebelumnya?” kataku dalam hati sambil tersenyum.“Baiklah Pak, terimakasih atas
kerjasamanya.” Kataku sambil berjabat tangan.
Sampai
dirumah, Papa dan Mama masih dirumah. Biasanya mereka sudah pergi bekerja.
Tetapi kali ini membuatku sedikit bertanya “Mengapa?” Tanpa lama-lama berpikir,
Aku langsung menghampiri mereka dan berkata: “Pa, Ma.., tulisanku akan
diterbitkan. Kata Pimpinannya, secepatnya akan diproduksikan dan dipromosi. Dan
Aku akan mendapatkan imbalan bagi hasil karyaku tersebut serta Aku diterima
untuk bergabung dalam Penerbit buku tersebut, dan itu artinya Aku telah
menghasilkan uang sendiri dan Aku akan melanjutkan sekolah lagi tanpa meminta
biaya lagi dari Papa dan Mama,” kataku dengan tegas sambil tersenyum bahagia.
Papa dan
Mama memelukku dan mencium keningku, sejenak hati dan pikiranku berhenti tanpa
aba-aba. Aku terharu dengan keadaan yang kualami saat ini. Terharu dengan
belaian kasih sayang yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku baru sadar,
bahwa inilah harapan orangtua yang sebenarnya. Melihat anaknya berhasil. “Terimakasih
Nak,! Tutur Papa dengan nada sedih. “Pa, Ma.. apa yang kudapatkan dan kuberikan
saat ini tak sebanding dengan apa yang telah Papa dan Mama berikan untukku, Aku
berjanji jika Aku benar-benar sukses Aku akan membahagiakan Papa
dan Mama,” jawabku dengan meneteskan air mata.
Hanya
sebatas Mimpi. Benar, jika memang tak ada hati untuk mengubahnya menjadi
kenyataan. Dan kini Mimpi tersebut telah kugenggam nyata ditanganku. Tak
berhenti berharap untuk mewujudkannya. Papa adalah orang yang selalu mendukungku
dalam hal apapun juga, Dialah orang terhebat yang pernah kumiliki dan Aku tak
akan pernah lupa betapa besar pengorbanan Papa untukku. Kuat meskipun dalam
keadaan lemah, tersenyum meskipun dalam keadaan sedih, tampak tegar padahal
merintih dan menjerit dengan keadaan yang menjepitnya, itulah Papa. Dan Mama
adalah orang yang sangat kuat dan tegar, mengerti segala apa yang kualami,
berjuang untuk membahagiakanku. Mampu menutupi segala apa kelemahannya, Sungguh
hebat.
Satu hal
yang masih ku ingat jelas kata-kata Papa untukku, “Mengucap syukurlah dalam
segala hal”. Kata-kata inilah yang sanggup menguatkan kelurgaku. Tanpa
bersyukur segala apa yang dikerjakan akan sia-sia dan tak ada gunanya.