Minggu, 06 Mei 2012

Sejarah Suku Nias


NIAS INDAH ANDALAN SUMATERA
(NIAS)

Persembahan untuk Nias tercinta
Ma'owai ita fefu
Yahowu ...!!! 

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Asal Usul

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Penelitian Balai Arkeologi Medan menguak jejak peradaban manusia pertama di Sumatera Utara. Jejak kehadiran manusia tergambar dari temuan arkeologis seperti sisa-sisa vertebrata (tulang dan gigi).
Lokasinya di sebuah goa pada ketinggian 175 meter di atas permukaan laut di Desa Lölöwönu Niko’otanö, Kecamatan Gunung Sitoli, Kabupaten Nias.

Temuan lain dari perut goa yang dikeruk hingga kedalaman 4 meter, yaitu alat-alat batu yang berkarakter paleolitik, di antaranya serpih batu, batu pukul dan pipisan dan mata panah dari batu dengan panjang 2,5 sentimeter. Bukti peradaban masa lalu yang paling menarik adalah penemuan batu andesit berbentuk lonjong dengan karakter sebagai pemukul, batu pukul dan alat atau spatula berbahan tanduk dan cangkang moluska.
Analisis yang dilakukan terhadap penemuan itu, menurut peneliti Balai Arkeologi Medan Ketut Wiradnyana, sangat absolut. Hasilnya menakjubkan, sudah ada manusia yang tinggal di Nias, khususnya di Goa Tögi Ndrawa, Desa Lolowonu Niko’otanö sejak 12 ribu tahun silam dan berlangsung terus-menerus hingga berkisar 1150 Masehi. Umur kehidupan manusia pertama di Pulau Nias itu dihitung dengan metode radio carbon atas sampel moluska. Manusia pertama yang tinggal di dalam goa memanfaatkan biota marin khususnya yang berada pada kawasan mangrove.

Hal itu dapat dibuktikan, kata Ketut, dari tumpukan cangkang moluska yang banyak ditemukan dari dalam lobang penggalian situs. Budaya yang ada pada manusia pertama di Nias itu sama persis dengan budaya prasejarah yang terdapat di wilayah Vietnam (Hoabinh). Kemungkinan lain dapat ditarik jika masa paleolitik di Pulau Nias memiliki waktu yang relatif sama dengan masa Paleolitik di daerah Indonesia (Nusantara) lainnya. Saat itu migrasi manusia di nusantara sebagian diyakini berasal dari daratan Asia. Manusia masa paleolitik kemudian berkembang cara hidupnya sejalan perkembangan otaknya ke masa mesolitik, neolitik, megalitik sampai sekarang.



Penelitian etnologis-antropologis tentang Nias telah berumur lebih 100 tahun. Tetapi sejak seratus tahun pula tidak banyak lagi yang terjadi. Kini Johannes Hämmerle ikut meramaikan dunia penelitian etnologis-antropologis tentang Nias tersebut dengan publikasi yang patut mendapat pujian.

***

Dengan buku “Asal-Usul Masyarakat Nias. Suatu Interpretasi” (2001), Pater Johannes telah meramaikan dunia ilmiah dengan tese baru. Apakah tese tsb.?
Tese tsb. hanya mau mengatakan, bahwa menurut keyakinan saya, orang Nias merupakan satu masyarakat yang multi-etnis. Tempo hari ada teman yang hendak mengoreksi judul buku saya menjadi “Asal usul suku Nias”. Tentu saja kutolak koreksi itu. Justru itu yang hendak dikatakan: Tiada satu suku Nias yang homogen. Yang menghuni pulau Nias sekarang ialah satu masyarakat yang terdiri dari sekian banyak suku atau etnis.

Jadi orang Nias yang sekarang bukanlah penghuni pertama Pulau Nias?
Bukan! Untuk sementara tak seorang pun mengetahui tempat tinggal penghuni Nias yang pertama pada zaman purbakala. Tiada pula orang yang mengetahui ciri khas penghuni pertama dan dari mana etnis pertama itu. Besar kemungkinan, bahwa keturunan dari penghuni pertama kini masih ditemukan di Nias, tetapi pasti tidak lagi sebagai satu suku yang hidup terpisah dari suku lain, melainkan sudah membaur dengan etnis-etnis lain yang kemudian memasuki pulau Nias.
Kemungkinan alternatif lain adalah:
» penghuni pertama tsb. telah meninggalkan Pulau Nias dan melanjutkan perjalanan ke pulau-pulau lain, atau
» telah musnah oleh wabah, atau
» telah dimusnahkan oleh suku-suku lain yang memerangi mereka.

Pater juga mengansumsikan, bahwa yang biasa disebut “Suku Nias” itu, sebenarnya terdiri dari beberapa “etnis”?
Menurut asumsi saya, Pulau Nias ini tak pernah terisolir 100%. Karena itu diandaikan, bahwa Pulau Nias telah berkontak dengan dunia luar. Adalah kenyataan, bahwa sepanjang tahun arus lautan di antara deretan pulau-pulau di sebelah Barat Daya Sumatera dan Pulau Sumatera sendiri mengarah ke arah Tenggara. Tak heran, kayu balok dari Singkil di Sumatra Utara sering terdampar di Nias. Kalau kayu balok bisa terdampar di Nias, mengapa perahu-perahu layar tidak dapat terdampar di situ pula?
Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pada zaman glasial terakhir terdapat juga orang yang memasuki Nias dengan berjalan kaki. Karena pada zaman glasial belum ada Pulau Nias. Yang ada pada waktu itu adalah daratan Nias yang menyatu dengan daratan Sumatera dan seterusnya sampai Malaysia. Besar kemungkinan, bahwa dari waktu ke waktu ada pendatang baru di Nias, dan asal usul mereka sering dari etnis yang berbeda.

Bagaimana kisahnya Pater sampai pada ide, bahwa “bela” kemungkinan penghuni pertama Pulau Nias?
Saya tak pernah mengatakan secara definitif, bahwa “bela” adalah penghuni pertama. Tetapi “bela” kemungkinan tergolong di antara penghuni pertama Pulau Nias. Saya sampai pada ide, bahwa “bela” dapat diperhitungkan sebagai salah satu suku penghuni pertama Nias, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut:
a. Ada kemungkinan, bahwa anggapan “bela” sama dengan “albino” (suatu penyakit kekurangan pigmen, yang terdapat di seluruh dunia) merupakan salah pengertian. Jadi “bela” sebagai suku jauh berbeda dengan “albino”.
b. Di Sumatera Utara terdapat juga satu suku “primitif” yang disebut “belah” (bahasa Nias tidak pakai konsonan penutup). Siapa tahu, ada kaitannya dengan “bela” di Nias?
c. Sumber-sumber teks otentik, mulai dari Sulaiman (th. 851) s/d. Ibn Al-Wardi (th. 1340) bicara tentang banyaknya kaum di Nias yang berbeda-beda.
d. Ciri khas orang “bela”, mereka hidup di atas pohon, berkulit putih dan elok badannya.

Adakah tradisi lisan, mitos, atau sejenisnya yang memperkuat tese ini?
Tradisi lisan sangat mendukung tese ini. Saya paling dibantu dalam hal ini oleh Ama Rafisa Giawa dari desa Orahili di hulu sungai Gomo, tetapi juga oleh nara sumber lainnya di Nias Tengah. Menurut tradisi lisan, keenam putra dari ibu Sirici diturunkan di tempat yang berbeda-beda. Mungkin hal ini merupakan petunjuk, bahwa cara hidup ke-6 keturunan ini berbeda pula. Seorang di antara mereka jatuh di atas pohon, artinya kelompok tsb. hidup di atas pohon. Petunjuk lainnya adalah adanya dua silsilah keturunan di Nias (zwei Stammbäume), seperti telah didengar oleh para misionaris 130 tahun yang lalu. Silsilah pertama secara global dan sangat singkat melukiskan suku-suku yang telah mendiami Pulau Nias, mungkin sejak ribuan tahun. Sedangkan silsilah kedua mengandaikan manusia (“Niha”), yang baru ratusan tahun yang lalu memasuki Pulau Nias.

Apakah ada juga bukti ilmiah tentang hal ini?
Temuan ilmiah di bidang arkeologi berikut bisa dijadikan sebagai bukti ilmiah: Dalam buku Gua Tögi Ndrawa, Hunian Mesolitik di Pulau Nias. Berita Penelitian Arkeologi. No 8 – Balai Arkeologi Medan, 2002, Ketut Wiradyana menguraikan hasil penelitian arkeologis di Nias. Antara lain dikatakan: Pada garis besarnya, situs Gua Tögi Ndrawa dapat disebut sebagai bentuk hunian tertutup masa mesolitik. Tetapi penemuan arkeologis lain di sungai Muzöi digolongkan dalam paleolitik akhir atau awal mesolitik. (hlm. 68).
Petunjuk ke arah bukti ilmiah lain bisa diharapkan dari ilmu linguistik. Umpamanya Ibu Dr. Lea Brown dari Australia sudah banyak menaruh perhatian pada penelitian tata bahasa di Nias Selatan.
Bukti ilmiah lainnya kita diharapkan keluar dari hasil dari penelitian DNA, yang saat ini sedang berlangsung. Prof. Dr. med. Ingo Kennerknecht dari Westfälische-Wilhelms-Universität, Münster, Jerman, dengan bekerja sama dengan Museum Pusaka Nias, Gunungsitoli, telah mengumpulkan sampel DNA dari 785 orang Nias. Karena jumlah penduduk Nias sekitar 700.000 orang, itu berarti per 1.000 orang Nias sudah terdapat satu sampel DNA. Saat ini sedang dipersiapkan Bank Data DNA orang Nias. Penelitian DNA seterusnya di institut khusus di Berlin, Leipzig atau Köln masih menyusul. Penelitiannya berjalan lambat, karena biaya mahal. Biaya penelitian satu sampel DNA adalah 500 

Sumber : Nias Online

1 komentar:

  1. Mau tanya, apakah orang nias memiliki keturunan orang sebrang (sumatera)? Adakah larangan orang nias menikah dengan orang jawa (solo) dan sebaliknya? Tolong berikan bukti yang jelas. Terimakasih. Saya menunggu jawabannya. Email: christyenovella@ymail.com

    BalasHapus