NIAS INDAH
ANDALAN SUMATERA
(NIAS)
Persembahan untuk Nias tercinta
Ma'owai ita fefu
Yahowu ...!!!
Suku Nias adalah kelompok
masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan
diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia). Suku
Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang
masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala
segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup
dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu
besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
Asal Usul
Menurut masyarakat Nias, salah
satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut
"Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli
Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia
pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra
yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9
Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki
di Pulau Nias
Penelitian Arkeologi telah
dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di
Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006
Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000
tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa
paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry
Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada
masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di
Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia
di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Penelitian Balai Arkeologi Medan menguak jejak
peradaban manusia pertama di Sumatera Utara. Jejak kehadiran manusia tergambar
dari temuan arkeologis seperti sisa-sisa vertebrata (tulang dan gigi).
Lokasinya di sebuah goa pada ketinggian 175 meter
di atas permukaan laut di Desa Lölöwönu Niko’otanö, Kecamatan Gunung Sitoli,
Kabupaten Nias.
Temuan lain dari perut goa yang dikeruk hingga
kedalaman 4 meter, yaitu alat-alat batu yang berkarakter paleolitik, di
antaranya serpih batu, batu pukul dan pipisan dan mata panah dari batu dengan
panjang 2,5 sentimeter. Bukti peradaban masa lalu yang paling menarik
adalah penemuan batu andesit berbentuk lonjong dengan karakter sebagai pemukul,
batu pukul dan alat atau spatula berbahan tanduk dan cangkang moluska.
Analisis yang dilakukan terhadap penemuan itu,
menurut peneliti Balai Arkeologi Medan Ketut Wiradnyana, sangat absolut.
Hasilnya menakjubkan, sudah ada manusia yang tinggal di Nias, khususnya di Goa
Tögi Ndrawa, Desa Lolowonu Niko’otanö sejak 12 ribu tahun silam dan berlangsung
terus-menerus hingga berkisar 1150 Masehi. Umur kehidupan manusia pertama di Pulau Nias itu
dihitung dengan metode radio carbon atas sampel moluska. Manusia pertama yang
tinggal di dalam goa memanfaatkan biota marin khususnya yang berada pada
kawasan mangrove.
Hal itu dapat dibuktikan, kata Ketut, dari
tumpukan cangkang moluska yang banyak ditemukan dari dalam lobang penggalian
situs. Budaya yang ada pada manusia pertama di Nias itu
sama persis dengan budaya prasejarah yang terdapat di wilayah Vietnam
(Hoabinh). Kemungkinan lain dapat ditarik jika masa
paleolitik di Pulau Nias memiliki waktu yang relatif sama dengan masa
Paleolitik di daerah Indonesia (Nusantara) lainnya. Saat itu migrasi manusia di nusantara sebagian
diyakini berasal dari daratan Asia. Manusia masa paleolitik kemudian berkembang
cara hidupnya sejalan perkembangan otaknya ke masa mesolitik, neolitik,
megalitik sampai sekarang.
Sumber : Tempo Interaktif Medan, http://niasonline.net/2006/11/25/jejak-manusia-pertama-sumatera-utara-ada-di-pulau-nias/
Penelitian etnologis-antropologis tentang Nias
telah berumur lebih 100 tahun. Tetapi sejak seratus tahun pula tidak banyak
lagi yang terjadi. Kini Johannes Hämmerle ikut meramaikan dunia penelitian
etnologis-antropologis tentang Nias tersebut dengan publikasi yang patut mendapat
pujian.
***
Dengan buku “Asal-Usul Masyarakat Nias. Suatu Interpretasi” (2001), Pater Johannes telah meramaikan dunia ilmiah dengan tese baru. Apakah tese tsb.?
Tese tsb. hanya mau mengatakan, bahwa menurut
keyakinan saya, orang Nias merupakan satu masyarakat yang multi-etnis. Tempo
hari ada teman yang hendak mengoreksi judul buku saya menjadi “Asal usul suku
Nias”. Tentu saja kutolak koreksi itu. Justru itu yang hendak dikatakan: Tiada
satu suku Nias yang homogen. Yang menghuni pulau Nias sekarang ialah satu masyarakat
yang terdiri dari sekian banyak suku atau etnis.
Jadi orang Nias yang sekarang bukanlah
penghuni pertama Pulau Nias?
Bukan! Untuk sementara tak seorang pun mengetahui
tempat tinggal penghuni Nias yang pertama pada zaman purbakala. Tiada pula
orang yang mengetahui ciri khas penghuni pertama dan dari mana etnis pertama
itu. Besar kemungkinan, bahwa keturunan dari penghuni pertama kini masih
ditemukan di Nias, tetapi pasti tidak lagi sebagai satu suku yang hidup
terpisah dari suku lain, melainkan sudah membaur dengan etnis-etnis lain yang
kemudian memasuki pulau Nias.
Kemungkinan alternatif lain adalah:
» penghuni pertama tsb. telah meninggalkan Pulau Nias dan melanjutkan perjalanan ke pulau-pulau lain, atau
» telah musnah oleh wabah, atau
» telah dimusnahkan oleh suku-suku lain yang memerangi mereka.
» penghuni pertama tsb. telah meninggalkan Pulau Nias dan melanjutkan perjalanan ke pulau-pulau lain, atau
» telah musnah oleh wabah, atau
» telah dimusnahkan oleh suku-suku lain yang memerangi mereka.
Pater juga mengansumsikan, bahwa yang
biasa disebut “Suku Nias” itu, sebenarnya terdiri dari beberapa “etnis”?
Menurut asumsi saya, Pulau Nias ini tak pernah
terisolir 100%. Karena itu diandaikan, bahwa Pulau Nias telah berkontak dengan
dunia luar. Adalah kenyataan, bahwa sepanjang tahun arus lautan di antara
deretan pulau-pulau di sebelah Barat Daya Sumatera dan Pulau Sumatera sendiri
mengarah ke arah Tenggara. Tak heran, kayu balok dari Singkil di Sumatra Utara
sering terdampar di Nias. Kalau kayu balok bisa terdampar di Nias, mengapa
perahu-perahu layar tidak dapat terdampar di situ pula?
Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pada zaman
glasial terakhir terdapat juga orang yang memasuki Nias dengan berjalan kaki. Karena
pada zaman glasial belum ada Pulau Nias. Yang ada pada waktu itu adalah daratan
Nias yang menyatu dengan daratan Sumatera dan seterusnya sampai Malaysia. Besar
kemungkinan, bahwa dari waktu ke waktu ada pendatang baru di Nias, dan asal
usul mereka sering dari etnis yang berbeda.
Bagaimana kisahnya Pater sampai pada ide,
bahwa “bela” kemungkinan penghuni pertama Pulau Nias?
Saya tak pernah mengatakan secara definitif,
bahwa “bela” adalah penghuni pertama. Tetapi “bela” kemungkinan tergolong di
antara penghuni pertama Pulau Nias. Saya sampai pada ide, bahwa “bela” dapat
diperhitungkan sebagai salah satu suku penghuni pertama Nias, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan berikut:
a. Ada kemungkinan, bahwa anggapan “bela” sama dengan “albino” (suatu penyakit kekurangan pigmen, yang terdapat di seluruh dunia) merupakan salah pengertian. Jadi “bela” sebagai suku jauh berbeda dengan “albino”.
b. Di Sumatera Utara terdapat juga satu suku “primitif” yang disebut “belah” (bahasa Nias tidak pakai konsonan penutup). Siapa tahu, ada kaitannya dengan “bela” di Nias?
c. Sumber-sumber teks otentik, mulai dari Sulaiman (th. 851) s/d. Ibn Al-Wardi (th. 1340) bicara tentang banyaknya kaum di Nias yang berbeda-beda.
d. Ciri khas orang “bela”, mereka hidup di atas pohon, berkulit putih dan elok badannya.
a. Ada kemungkinan, bahwa anggapan “bela” sama dengan “albino” (suatu penyakit kekurangan pigmen, yang terdapat di seluruh dunia) merupakan salah pengertian. Jadi “bela” sebagai suku jauh berbeda dengan “albino”.
b. Di Sumatera Utara terdapat juga satu suku “primitif” yang disebut “belah” (bahasa Nias tidak pakai konsonan penutup). Siapa tahu, ada kaitannya dengan “bela” di Nias?
c. Sumber-sumber teks otentik, mulai dari Sulaiman (th. 851) s/d. Ibn Al-Wardi (th. 1340) bicara tentang banyaknya kaum di Nias yang berbeda-beda.
d. Ciri khas orang “bela”, mereka hidup di atas pohon, berkulit putih dan elok badannya.
Adakah tradisi lisan, mitos, atau
sejenisnya yang memperkuat tese ini?
Tradisi lisan sangat mendukung tese ini. Saya
paling dibantu dalam hal ini oleh Ama Rafisa Giawa dari desa Orahili di hulu
sungai Gomo, tetapi juga oleh nara sumber lainnya di Nias Tengah. Menurut
tradisi lisan, keenam putra dari ibu Sirici diturunkan di tempat yang
berbeda-beda. Mungkin hal ini merupakan petunjuk, bahwa cara hidup ke-6
keturunan ini berbeda pula. Seorang di antara mereka jatuh di atas pohon,
artinya kelompok tsb. hidup di atas pohon. Petunjuk lainnya adalah adanya dua
silsilah keturunan di Nias (zwei Stammbäume), seperti telah didengar oleh para
misionaris 130 tahun yang lalu. Silsilah pertama secara global dan sangat
singkat melukiskan suku-suku yang telah mendiami Pulau Nias, mungkin sejak
ribuan tahun. Sedangkan silsilah kedua mengandaikan manusia (“Niha”), yang baru
ratusan tahun yang lalu memasuki Pulau Nias.
Apakah ada juga bukti ilmiah tentang hal ini?
Apakah ada juga bukti ilmiah tentang hal ini?
Temuan ilmiah di bidang arkeologi berikut bisa
dijadikan sebagai bukti ilmiah: Dalam buku Gua Tögi Ndrawa, Hunian Mesolitik di
Pulau Nias. Berita Penelitian Arkeologi. No 8 – Balai Arkeologi Medan, 2002,
Ketut Wiradyana menguraikan hasil penelitian arkeologis di Nias. Antara lain
dikatakan: Pada garis besarnya, situs Gua Tögi Ndrawa dapat disebut sebagai
bentuk hunian tertutup masa mesolitik. Tetapi penemuan arkeologis lain di
sungai Muzöi digolongkan dalam paleolitik akhir atau awal mesolitik. (hlm. 68).
Petunjuk ke arah bukti ilmiah lain bisa
diharapkan dari ilmu linguistik. Umpamanya Ibu Dr. Lea Brown dari Australia
sudah banyak menaruh perhatian pada penelitian tata bahasa di Nias Selatan.
Bukti ilmiah lainnya kita diharapkan keluar dari
hasil dari penelitian DNA, yang saat ini sedang berlangsung. Prof. Dr. med.
Ingo Kennerknecht dari Westfälische-Wilhelms-Universität, Münster, Jerman,
dengan bekerja sama dengan Museum Pusaka Nias, Gunungsitoli, telah mengumpulkan
sampel DNA dari 785 orang Nias. Karena jumlah penduduk Nias sekitar 700.000
orang, itu berarti per 1.000 orang Nias sudah terdapat satu sampel DNA. Saat
ini sedang dipersiapkan Bank Data DNA orang Nias. Penelitian DNA seterusnya di
institut khusus di Berlin, Leipzig atau Köln masih menyusul. Penelitiannya
berjalan lambat, karena biaya mahal. Biaya penelitian satu sampel DNA adalah
500
Sumber : Nias Online
Mau tanya, apakah orang nias memiliki keturunan orang sebrang (sumatera)? Adakah larangan orang nias menikah dengan orang jawa (solo) dan sebaliknya? Tolong berikan bukti yang jelas. Terimakasih. Saya menunggu jawabannya. Email: christyenovella@ymail.com
BalasHapus